Kamis, 12 Januari 2012

Sayang, banyak yang melakukan bukan berarti boleh.....

Seorang anak sedang berbincang dengan ibunya di teras rumah. Ia baru saja pulang sekolah.

“ Bunda, hari Minggu besok aku mau ikut teman-teman renang. Boleh ya, Bun?
Buat refreshing. Kan sudah selesai mid semester.”
sang anak membuka pembicaraan.

“ Renang? Dimana?” tanya Bunda sambil berjongkok di samping gadis kecilnya yang sedang melepas sepatu.
“ Biasa, Bunda!” Sang anak kemudian menyebut kolam renang yang ia maksudkan.
“ Jangan, sayang! Itu kan kolam renang untuk umum!” jawab Bunda setengah kaget.

“ Ya, memang. Terus kenapa, Bunda?” gadis kecil itu balik bertanya.
“ Lho, kamu ini bagaimana sih, Nak.
Di kolam renang itu kan tidak dibedakan antara kolam untuk laki-laki dan perempuan. Kamu nda boleh ke sana!”
“ Tapi dulu kita pernah kesana, Bunda.”

“ Memang, tapi itu dulu, sebelum Ayah dan Bunda mempelajari Islam lebih dalam.
Bunda tidak melarang renangnya, bagaimanapun itu olah raga yang menyehatkan.
Tapi yang Bunda tidak ijinkan adalah karena di kolam renang itu tidak dipisahkan antara pengunjung laki-laki dan perempuan.”

“ Pakai baju renang untuk muslimah kan bisa, Bunda “
“ Baju renang muslimah? Memangnya ada ya?
Bunda belum pernah lihat, apalagi memakainya.
Tapi ‘semuslimah’ apapun bentuk dan modelnya, tetep saja ngepas di badan kan?

Kamu pernah liat orang berenang pakai baju model gamis?
Kalaupun ada mungkin tidak sengaja jatuh ke kolam atau sedang kebanjiran.
Lagian juga, baju renang muslimah itu dibuat bukan berarti bisa dan boleh dipakai di kolam renang yang bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Baju itu semestinya dipakai di kolam renang yang khusus untuk perempuan. Meskipun sesama perempuan, bukan berarti kita boleh membuka aurat semau kita. Harus tetap dijaga!”

“ Dulu boleh, kenapa sekarang tidak!” protes sang anak, penasaran.
“ Kan sudah Bunda katakan. Pengetahuan Ayah dan Bunda tentang Islam waktu itu masih awam.
Tidak semua yang pernah kita lakukan boleh kita ulangi lagi. Apalagi kalau ternyata itu sebuah kesalahan, jangan sampai terulang kedua kali.

Kita harus mengambil hikmah dan pelajaran dari masa lalu. Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk.”
Gadis kecil itu terdiam, mencoba memahami apa yang Bundanya katakan.

“ Ingat nak, kamu sekarang sudah beranjak remaja, bukan anak-anak lagi.
Kewajiban agama sudah melekat padamu, diantaranya menutup auratmu dengan baik dan benar.

Soal kekhilafan Ayah dan Bunda di masa lalu, jangan diikuti.
Kami sudah bertaubat dan terus memperbaiki diri, semoga Allah senantiasa membimbing agar kami senantiasa istiqomah menempuh jalan yang lurus ini.”
Bunda menambahkan.
Untuk beberapa saat Bunda terdiam. Perih terasa di hatinya bila mengingat ‘kejahiliahan’nya di masa lalu.

“ Tapi, Bunda. Teman-temanku banyak yang mau ikut.
Sebagian malah hampir setiap bulan kesana. Masa aku sendirian yang nda pernah ikut renang?”
Pertanyaan gadis itu membuyarkan lamunan Bunda.

“ Sayang, banyak yang melakukan bukan berarti boleh. Meski seluruh teman sekolahmu berenang di sana, sama sekali tidak mengurangi apalagi mengubah hukum Islam.
Sekali haram tetap haram.
Ingat, bukan pada renangnya tapi pada bercampurnya laki-laki dan perempuan, apalagi dengan pakaian renang yang jauh dari menutup aurat.”

Sebenarnya Bunda ingin menambahkan, memberi contoh dengan korupsi yang mewabah di negeri ini.
Meski semua pejabat dalam sebuah instansi kompak menjadi penjahat, melakukan korupsi uang rakyat, sama sekali tidak merubah hukum korupsi.
Korupsi tetaplah haram, dulu, kini dan yang akan datang, selamanya.
Tapi niat itu Bunda batalkan, bukan waktunya menyampaikan ini pada anaknya yang sedang ngotot ingin berenang. Biarlah ini menjadi pengingat bagi yang membaca tulisan ini bahwa korupsi adalah haram, berapapun jumlahnya, apapun bentuk dan caranya, siapa dan berapapun orang yang melakukannya.

Mendapati sang Bunda tetap keukeuh dengan keputusannya, gadis kecil itu mulai berpikir mencari jalan lain agar ia dapatkan ijin untuk berenang bersama teman-temannya.
Dan ketika ia menemukan, matanyapun berbinar-binar.
“ Aku mau nelpon Ayah, siapa tahu diijinkan” gadis kecil itu menyeringai, kembali bersemangat.
“ Tidak….”
Bunda ingin mencegah, tapi sang anak sudah terlanjur masuk ke kamar, mengambil handphone dan langsung menghubungi ayahnya yang masih di kantor.
Tiga menit kemudian.
“ Bagaimana, Ayah mengizinkan? Bunda yakin tidak! Benar kan?” tanya Bunda yang masih menunggu di depan pintu kamar.
“ Bunda sama Ayah sekongkol!” jawab gadis kecil itu, mulutnya manyun, ngambek.

“ Lho…lho..lho…kok nuduh begitu?” Bunda tersenyum melihat putri tunggalnya yang justru terlihat lucu kalau sedang ngambek.
“ Ayah dan Bunda nda sekongkol, tapi memang begitu seharusnya.
Orang tua harus sejalan dalam beramar maruf dan nahi munkar.
Tadi Bunda mau mengingatkan kalau Ayah pasti tidak akan mengijinkan,tapi kamu keburu masuk kamar.
Tanpa Bunda kasih tahu, insha Allah - ayahmu lebih paham soal ini.”

“ Sudahlah, simpan keinginanmu untuk ikut renang sampai kita temukan kolam renang khusus untuk perempuan.
Mudah-mudahan suatu saat Ayah bisa buatkan kolam renang untuk kita di rumah, jadi kita bisa berenang kapanpun kita mau.” bujuk Bunda.
Gadis kecil itu diam, bergeming.

“ Biasanya jika tidak setuju, Ayah memberikan pilihan lain.
Kalau Bunda boleh tahu, Ayah tadi nawarin apa?” tanya Bunda mencoba mencairkan suasana.
“ Ayah bilang, insha Allah mau ajak aku dan Bunda ke toko buku yang ada di mall .“
“ Alhamdulillah. Tuh kan, masih ada cara refreshing yang lebih aman, tidak melanggar larangan agama. Kalau ada yang halal, untuk apa melakukan yang haram? “

“ Iya, Bunda. Tapi besok aku bebas memilih buku apa saja yang aku suka, ya? “
“ Bebas bukan berarti tanpa batas.
Harus melihat kemampuan, juga segi kepentingannya.
Kita beli yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan!”

Selasa, 10 Januari 2012

belajar mencintai dan di cintai

Seorang suami bercerita kepada saya, bahwa dalam usia pernikahannya yang memasuki tahun ketiga, ia tak juga merasa semakin mengenal istrinya. Masih sekian banyak hal2 asing dan bahkan aneh yang ia temukan pada diri seorang makhluk "halus" bernama istrinya itu. Siapakah dirimu wahai istriku? Demikian ia sering bertanya dalam hati.

Seorang perempuan yang tiba2 menangis tanpa sebab2 yang bisa diterima akal laki2. Seorang perempuan yang tiba2 ngambek hanya karena urusan kecil menurut ukuran laki2. Sesekali sedemikian manja dan amat ceria, pada kesempatan lain tampak begitu keras. Sesekali tampak cerdas dan pintar dalam berargumentasi, sesekali tampak sedemikian emosional dan logikanya tidak jalan.

Dunia laki2 sering mengajarkan pola hidup rasional, argumentative, cenderung mengeliminir unsur perasaan dan dalam banyak hal : kaku. Ia lebih bisa memahami mengapa seseorang berkelahi, daripada mengapa ada orang yang menangis dalam menyelesaikan masalah. Ia lebih bisa menerima seseorang yang berdebat dalam mempertahankan keinginannya daripada seseorang yang diam membisu dalam mengekspresikan keinginannya. Ia lebih mudah mengerti jawaban "iya" dan "tidak" daripada bahasa perasaan yang mengalir tanpa kejelasan.
Tapi sedemikian pulalah yang dihadapi oleh sang istri. Seorang akhwat muslimah, yang belum pernah bersentuhan kulit dengan laki2 di masa lajangnya. Tiba2 ia merasa ada " raksasa yang memperkosa" banyak rahasia dirinya. Sehelai rambut yang sempat menyembul keluar dari balik kerudung rapinya saja sudah cukup membuat ia malu dan merah padam wajahnya di depan laki2. Kini semua rambutnya berjurai lepas di dalam rumah, di hadapan seorang ikhwan. Ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan suami. Ia mulai mengenal dunia laki2 secara sangat dekat tanpa jarak. Ia mulai berinteraksi dengan benda2 perlengkapan laki2 yang dulu tak pernah terjamah olehnya. Bahasa2 dakwah yang kental dan bahkan amat pekat selama ini, telah mencetak sebuah kepribadian aktivis yang berbahasa lugas dan tak pandai juga tak terbiasa "berbunga-bunga" dalam berbahasa. Kini harus ada evolusi kultural, sejak dari penampilan, berparhum didepan suami, bersolek wajah, merajuk, merayu, bersikap manja dan
membahasakan cinta secara berbunga2. Kesemuanya itu tidak pernah ada pelajarannya. Tidak pernah ada materi pembinaannya. Tiba2 harus bisa, dalam waktu sekejap saja.

Kita dibuat tidak secara pandai dan argumentatif memahami dunia pasangan kita, kecuali melalui pembelajaran dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang dirasakan. Saling membantu mengajarkan tentang diri sendiri, bahwa "aku adalah makhluk Allah yang punya keinginan" dan mestinya "engkau mengerti keinginanku". Tetapi proses pembahasaan verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakekat perasaan, sebab diksi tak selalu mampu menuturkan kata hati secra jeli dan teliti.

Cinta bisa saja menimbulkan prasangka, justru karena ingin mengekalkan kecintaan itu. Sebagaimana saling percaya harus tumbuh diatas benih2 kesuburan cinta dan kasih saying suami istri secara timbal balik. Tak pelak keikhlasan harus memancar serta secara tulus menerima apa adanya pasangan hidup masing2.

Untuk bisa mencintai dan merasakan dicintai, diperlukan pengenalan, sebagaimana kata orang bijak tak kenal maka tak sayang. Maka belajarlah untuk mengenali pasangan hidup masing2.

Selasa, 03 Januari 2012

bunda

Allah Maha Penyayang. Sudah paham kita bahwa kata ‘maha’ pada sifat Allah itu telah menunjukkan bahwa Allah swt tiada tandingannya dalam sifat itu. Tapi tetap saja Rasulullah memperbandingkan sifat kasih sayang Allah dengan sifat kasih sayang makhluk – untuk memberi pemahaman kepada umat bahwa kasih sayang Allah jauh lebih besar dari kasih sayang yang diperbandingkan. Tentu kasih sayang makhluk yang diperbandingkan itu bukanlah kasih sayang yang sepele. Kalau kita ingin memberi pemahaman pada anak kita yang masih kecil sebesar apa ikan paus itu, tentu kita tidak akan memperbandingkan dengan ikan cupang, tapi kita akan katakan “tahu sebesar apa ikan hiu atau lumba-lumba? Ikan paus jauh lebih besar.”
Umar bin Khatab pernah menceritakan pengalamannya setelah melewati suatu peperangan. “Didatangkan beberapa tawanan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba ada di antara para tawanan seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. (tampaknya ia kebingungan mencari anaknya). Setiap ia dapati anak kecil di antara tawanan itu, ia ambil dan kemudian ia dekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya pada para sahabat, “Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami pun menjawab, “Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-Nya daripada wanita ini terhadap anaknya.” (Muttafaq Alaih)
Perbandingan itu membuat saya memahami bahwa begitu besar cinta Allah kepada makhluk-Nya mengalahkan setiap bentuk kasih sayang yang lain, sekaligus membuat saya tersadar begitu besarnya cinta seorang ibu sampai-sampai dijadikan perbandingan untuk cinta yang maha dahsyat milik Allah swt.
Sebuah Berita Memulai Cerita Cinta
Test Pack, Ultrasanografi (USG), atau apa pun medianya telah memulai perjalanan kisah cinta yang agung. Tidak malu-malu air mata menghias di kerling mata seorang calon ibu ketika mendapat berita hadirnya buah hati yang menyatu pada jasadnya. Bukan simbiosis mutalisme, apalagi parasitisme, tapi jalinan hubungan yang dijalani oleh organisme yang memakan makanan induk semangnya pada jasad seorang wanita merupakan simbiosis cintaisme. Simbiosis yang sangat-sangat ditunggu oleh seorang wanita.
Setelah hadirnya kabar itu, seorang wanita akan menemukan cinta di sekelilingnya, di setiap harinya.
Morning Sickness dan Semua Kepayahan
Jasadnya saja yang menderita morning sickness, tapi hatinya along day hapiness. Rasa mual memang mengganggu, tapi tak menjadi beban pikiran. Dan setiap kepayahan yang terasakan, tak mampu mempengaruhi hari-hari bahagia seorang wanita. Ada cinta baru, kebahagiaan, dan rasa syukur kepada Allah swt yang berkekuatan dahsyat mendominasi kesadaran wanita tanpa ada yang bisa mengkudetanya.
Siapa yang bilang kalau cinta itu pasti selalu mudah dan menyenangkan?
Ekspresi yang Tak Rasional
Seorang pria dengan pikiran rasionalnya mempertanyakan kebiasaan seorang wanita mengandung yang rajin mengelus perut dan berbicara pada janinnya. “Sia-sia. Bagaimana mungkin jasad itu mengerti apa yang kau lakukan dan apa yang kau katakan?” Wanita itu menjawab, “Ah, tahu apa kamu tentang cinta ini. Apakah kau percaya ada energi hangat yang jatuh dari matahari ke bumi? Kau melihatnya? Kalau kau tak melihatnya tapi percaya, maka lebih masuk akal lagi bahasa cinta ini. Tapi kemampuan rasional mu terbatas, wahai pria…”
Perbincangan wanita pada janinnya itu monolog. Indoktrinasi cinta dari seorang calon ibu pada anaknya.
Dan Wujud Cinta itu pun Terlihat Nyata
Yang mencintai merasakan perih, yang dicintai menangis keras. Ada pertengkaran kah? Justru puncak kebahagiaan baru saja hadir. Rasa geregetan selama sembilan bulan untuk segera melihat buah hati tuntas sudah. Cinta bergemuruh di dada seorang ibu. Kalau selama ini usapan cinta terhalang oleh perut, kini cinta itu bisa ditransfer langsung di dekat jantung seorang ibu. Jantung yang tiap hari denyutnya digerakkan oleh cinta.
Seorang ibu mengerti, bila bayi menangis di tengah malam adalah karena ia rindu mendengar detak jantung si ibu. Selama sembilan bulan sebelumnya si bayi tak pernah alpa sehari pun mendengar denyut jantung si ibu, kini setelah lahir si bayi merasa kehilangan denyut cinta itu. Karenanya, kapan pun ia merasa rindu, si bayi mengeak keras.
Dan waktu terus berjalan, sang anak tumbuh besar. Tapi cerita cinta si ibu tidak pernah berhenti. Ketika seorang anak sudah lama disapih, sudah lupa bunyi detak irama cinta dari ‘alat musik’ jantung seorang ibu, si anak pun mulai tergerus kesadarannya akan cinta seorang ibu. Itu yang membuat seorang anak berani menantang ibunya. Semoga bukan karena tidak mampunya ibu membahasakan cinta pada seorang anak ketika si anak telah tumbuh. Karena bahasa cinta di setiap umur seorang anak itu berbeda-beda. Seorang ibu harus paham bahasa yang tepat untuk setiap usia.
Bahkan setelah remaja, seorang anak mulai memadu cinta ibunya. Tak masalah karena itu fitrah. Tapi saat nama lain mulai masuk ke hati, sering kali nama itu bersikap egois dengan berusaha menyingkirkan nama ibu yang sebelumnya ada di hati seorang anak. Tragis. Semoga bukan karena kedudukan cinta ibu di hati anak yang memang lemah. Seorang anak di dunia ini akan menemukan berbagai cinta, kalau ibu tidak mampu mengokohkan cintanya di hati seorang anak, maka cinta ibu itu rawan dikalahkan oleh cinta lain.


Cinta. Menjadi alasan yang kuat kalau seorang muslim wajib menaati orang tuanya, terutama ibu. “Penuhilah hak ibu, sebab surga berada di bawah telapak kakinya.” (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Nasa’i; diriwayatkan juga oleh Bukhari, kita adab; Thabrani; dan Al-Hakim). Kalau Rasulullah mengumpamakan surga berada di bawah telapak kaki ibu, lalu apa yang ada di kening seorang ibu? Cinta di jantung seorang ibu, surga di telapak kakinya.
Seorang hamba merindukan keridhoan Tuhannya. Ia lakukan amal-amal jawarih (amal anggota tubuh) dan nawafil (sunnah). Ia tahan kantuk di sepertiga akhir malam, ia tahan lapar di siang hari, dan bergegas ia ke masjid untuk ihtiromil waqtih (menghormati waktu) sholat wajib. Sudah sampai kah pada ridho Tuhannya? “Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua” (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi,Hakim). Kalau ia belum melakukan birrul walidain (berbuat baik pada orang tua) sehingga orang tuanya ridho, amal-amal itu beserta kesusahannya belum membuat Allah swt ridho.
Keridhoan orang tua… padahal itu mudah. Karena cinta ibu pada anak tertanam kuat di jantungnya. Kesusahan mengandung, melahirkan, dan mengasuh adalah upaya menanam pondasi cinta sampai ke dasar jantung. Apa yang dapat meruntuhkan bangunan kokoh itu? Kedurhakaan!!
“Siapa yang membuat orang tuanya sedih, maka ia telah durhaka kepada keduanya.” (HR Bukhari)
Hamba itu ingin menyempurnakan usahanya. Ia tak mampu terus menerus sholat dan puasa sepanjang waktu. Tapi ada amal ruhbaniah/kependetaan (seperti pada hadits riwayat Ahmad) yang sebanding dengan terus menerus sholat dan puasa selama mengerjakan amal itu. Yaitu jihad. (HR Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah). Hamba itu bersemangat kepada amalan itu. Adakah halangan?
“Aku ingin berangkat perang, dan aku datang untuk meminta nasihat Anda.” Kata seorang pemuda kepada Rasulullah saw. Lalu Nabi bertanya, “Apakah Anda masih punya ibu?” Jawab pemuda itu, “Ya masih.” Nabi berkata “(Kalau begitu) pergilah, penuhilah kewajiban Anda untuk berbakti kepadanya, sebab surga itu berada di antara kedua kakinya.” (HR Hakim, shahih menurut beliau dan disepakati Adz-Dzahabi).
Ibu… wanita itu adalah manusia penuh cinta. Respon lah cinta itu karena surga dan keridhoan Allah bergantung dari bagaimana kita merespon cinta ibu.
Robirhamhuma kama robbayani sighoro. “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS 17:24)
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS 46:15)